“Ada juga non-Muslim Inggris yang memberikan dana cukup besar untuk pendirian masjid sekaligus pusat kegiatan Muslim Indonesia di London yang terdiri dari warna-warni mazhab keagamaan.”
Oleh Prof. Dr. Moh. Ali Aziz M.Ag
KETIKA sedang mencuci piring di dapur Wisma Caraka, tiba-tiba telepon berdering. “Pak, Minggu sore, mohon bapak mengisi kajian Islam sekaligus imam tarawih yang diadakan oleh Muslimat NU di Indonesia Islamic Center (IIC),” kata Ustad Jamalul Lail, pengatur jadwal kegiatan Safari Ramadhan saya. Saya menerima telepon sambil terus mencuci piring.
Lho cuci piring sendiri? Ya, saya harus menyesuaikan budaya keluarga di Eropa: harus mandiri, tidak boleh ada orang diperlakukan sebagai pembantu, termasuk istri, apalagi tuan rumah. Juga budaya berterima kasih sebelum meninggalkan meja makan.
Inilah yang banyak dilupakan orang Indonesia. Kebanyakan kita “pengikut aliran kebatinan.” Artinya hanya berterima kasih dalam batin, tak diucapkan. He he.
“Lho, ada Muslimat NU to mas?,” tanya istri keheranan sambil merapikan alat-alat dapur. Saya kemudian menelepon Ibu Khofifah Indar Parawangsa selaku ketua umum Muslimat NU.
“Bu, pesan apa yang perlu saya sampaikan kepada pengurus dan anggota Muslimat di London? Jawaban Bu Khofifah: Mohon mereka tetap solid dan bersemangat, agar bisa mengembangkan Islam toleran di Inggris dan Eropa pada umumnya,” begitu jawaban salah satu dari 100 perempuan paling berpengaruh dunia itu.
Tak ada penyambutan di luar gedung IIC, tempat acara sore itu. Mereka tetap tinggal dalam gedung, mengingat udara di luar amat dingin (2 Co) dan gerimis disertai angin kencang yang menembus kaos tangan saya.
Baru ketika saya memasuki gedung, sekitar 85 wanita berseragam batik hijau dan 13 bapak-bapak menjawab dengan serentak salam saya dengan tepuk tangan.
Gedung IIC yang baru dibeli dan diresmikan pada tanggal 4-12-2022 ini benar-benar gedung kebanggaan muslim Indonesia di Inggris. Hampir 30 tahun mereka (muslim Indonesia di Inggris Raya) berdarah-darah mencari dana sebesar Rp 27.2 Miliar untuk membeli gereja yang tak terpakai, yang sebelumnya adalah sinagog, tempat ibadah orang Yahudi itu.
“Dulu di sekitar daerah ini mayoritas Yahudi. Sekarang mayoritas muslim,” kata KH Muhammad Hamim Syaaf (71 tahun), sesepuh muslim Indonesia di Inggris, alumni Syiria yang ikut hadir dalam acara itu.
Ia pernah bekerja di Kementerian Agama, lalu keluar, dan tinggal di London. Salah satu anaknya bahkan bekerja sebagai polisi di London.
Sebenarnya pada tahun 2003, muslim Indonesia telah membeli rumah berkapasitas 100 untuk IIC di Wakenans Hill Avenue, London NW9 OTY. Tapi, tidak bisa untuk kegiatan keagamaan, sebab terlalu kecil dan terletak di daerah pemukiman. Maka rumah itu dijual untuk tambahan dana pembelian IIC yang baru di Clifford Way, London NW10 1AN London, dekat Stadion Wembley.
“Pada masa Covid 19, kami menebar ajakan Wakaf Mozaik. Kami amat terharu atas sambutan saudara-saudara kita di tanah air, mulai dari Papua sampai Aceh. Kakaknya Pak Erick Thohir menyumbang Rp 4 M, ada juga orang tak mampu yang mengirim Rp 10 ribu,” kata panitia penggalian dana.
Baca Berita Terkait:
- Di Balik Tour Dakwah Prof. Dr. Moh. Ali Aziz M.Ag di London (1): Keputusan Berangkat Pada Saat Darurat
- Di Balik Tour Dakwah Prof. Dr. Moh. Ali Aziz M.Ag di London (2): Terdengar “I Am Sorry” Setiap Mengaji
- Di Balik Tour Dakwah Prof. Dr. Moh. Ali Aziz M.Ag di London (3): Keindahan Jamaah Aneka Etnis di Masjid London
- Di Balik Tour Dakwah Prof. Dr. Moh. Ali Aziz M.Ag di London (4): Bersemangat dengan Terapi Shalat!
- Di Balik Tour Dakwah Prof. Dr. Moh. Ali Aziz M.Ag di London (5): Muslim Dipercaya, London Bercahaya
Ia menambahkan, ada juga non-Muslim Inggris yang memberikan dana yang cukup besar untuk pendirian masjid sekaligus pusat kegiatan Muslim Indonesia di London yang terdiri dari warna-warni mazhab keagamaan.
Kota ini berpenduduk 34 juta jiwa. Sebanyak 5% (3 juta) jiwa dari mereka beragama Islam, agama nomor dua terbesar setelah Kristen.
Sama dengan Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia, Muslimat NU di London juga amat senang diajak membaca shalawat. Maka bergemalah gedung bercat putih lantai dua itu dengan shalawat yang saya pimpin, “Shallallahu ala Muhammad, Shallallahu alaihi wasallam….“
Di sela-sela shalawat Jibril itu, saya selipkan pesan-pesan kebersamaan dalam menyebarkan Islam di Inggris.
“Alhamdulillah, kami kompak, sesuai pesan Ibu Khofifah. Dengan door to door, kami juga berhasil menghimpun Rp 1 M untuk pembangunan masjid IIC ini,” kata Ibu Yayah Indra, Ketua Muslimat NU Inggris Raya sambil menunjukkan toilet dan mesin penghangat yang masih perlu perbaikan.
“Dengan kebersamaan, tidak ada gunung yang tidak bisa kita daki. Tidak ada lautan yang tak bisa kita seberangi, dan tidak ada target Muslimat yang tidak bisa dicapai,” kata saya yang disambut gemuruh tepuk tangan, termasuk ibu-ibu yang sedang sibuk menyiapkan kolak, lontong dan kare ayam untuk buka bersama.
Dalam sesi berfoto, mereka mengajak saya mengepalkan tangan dan meneriakkan yel-yel, “Muslimat NU UK excellent.”
Catatan ini saya tutup. Sebab ketika menulisnya menjelang sahur, saya teringat Prof Dr Nur Syam, teman akrab dan guru besar UINSA paling produktif.
Dalam telepon, ia berpesan 5-at, yaitu usahakan tetap sehat, banyak istirahat, teratur minum obat, kurangi karbohidrat, dan … tulisan mohon dipersingkat. “Siap..” jawab saya singkat. (Bersambung)
Catatan: Tulisan ini juga dimuat di duta.co. Pemuatan di media ini dan foto-fotonya seizin Prof. Dr. Moh. Ali Aziz M.Ag