Para diaspora Indonesia di Amerika Serikat semakin bangga lantaran semakin banyak film Indonesia ditonton publik negeri Paman Sam. Kali ini film “Ngeri-Ngeri Sedap” atau judul dalam Bahasa Inggris “Missing Home” sempat masuk top results Film Indonesia di Netflix Amerika. Bila anak diaspora berprestasi, kelak anak muda RI bisa juga jadi senator di Amerika.
Oleh Gatot Susanto
FILM “Missing Home” telah menembus 2 juta penonton. Selain karena story telling dan adegannya bagus, para pemainnya yang sebagian besar komedian juga bermain apik. Film yang juga masuk nominasi Piala Citra 2022 itu
bisa menyusul sejumlah film lain yang sukses masuk pasar Amerika.
Film karya sutradara Bene Dion Rajagukguk yang dibintangi Arswendy Bening Swara, Tika Panggabean, dan Boris Bokir Manullang ini berkisah tentang pasangan suami istri keluarga Batak yang pura-pura hendak bercerai agar
anak-anak mereka yang sudah lama merantau merasa perlu mudik ke kampung halamannya. Film ini penuh adegan lucu tapi sarat pesan moral dan tradisi budaya Batak.
“Saya bangga jadi bagian insan seni film Indonesia melihat karya anak bangsa diterima dengan baik di Amerika,” kata Mustari Siara, aktor Indonesia anggota Parfi, yang sekarang tinggal di New York, kepada DutaIndonesia.com dan Global News, Rabu (7/8/2024).
Sebelumnya, film KKN di Desa Penari juga banyak ditonton masyarakat Amerika. Bahkan, film yang menjadi paling banyak menyedot penonton ini diputar keliling di gedung bioskop negerinya Joe Biden itu. Film yang antara lain dibintangi Tissa Biani, Aghniny Haque, Kiki Narendra, dan Aulia Sarah ini diputar di sejumlah kota Amerika dengan judul “Dancing Village, The Curse Begins”. Film KKN di Desa Penari saat itu diputar sejajar dengan film Hollywood seperti Dont Worry Darling, Harry Potter, dan Avatar di bioskop United Artists Theaters New York.
“Iya film KKN di Desa Penari itu antara lain diputar di Washington, Virginia, Kansas, Oregon, Arizona, Pennsylvania, New Jersey, New York, Louisiana, Oklahoma,” katanya.
Film KKN di Desa Penari sukses dirilis di Amerika pada 23 September 2022. Sementara di Netflix, masih banyak film Indonesia yang bisa ditonton. Misalnya Ali Topan dan Titip Surat untuk Tuhan. “Ayo tonton. Sekaligus
menyemangati sineas muda berkarya,” katanya.
Mustari mengatakan, sebenarnya tidak sulit film atau produk lain asal Indonesia masuk pasar Amerika. Tentu saja harus berkualitas sebab persaingannya sangat ketat mengingat film dari negara lain juga banyak yang diedarkan di negeri ini.
“Mudah-mudahan semakin banyak film Indonesia bermutu yang masuk pasar Amerika,” ujarnya.
Dia menjelaskan, diaspora Indonesia di Amerika harus ikut membantu mempromosikan produk Indonesia, termasuk film, di pasar Amerika.
Peran diaspora sangat menentukan berhasil tidaknya produk Indonesia diterima masyarakat Negeri Paman Sam.
“Tidak sulit film Indonesia masuk di negeri ini. Baik melalui platform seperti Netflix atau diputar di bioskop. Sama saja. sama -sama jalan,” katanya.
Mustari berharap insan film di Indonesia tidak segan menembus pasar Amerika. Sebab peluangnya masih besar. “Saya sangat mengharapkan insan film Indonesia, para generasi penerus, semangat berkarya, bikin film yang
bagus. Sebab seni dan film Indonesia terbukti sudah dikenal di Amerika,” ujarnya.
Dia menceritakan awal para diaspora Indonesia merintis hubungan dengan masyarakat Amerika. Kuncinya saling mendukung antar diaspora, baik yang sudah menjadi warga Amerika maupun yang masih WNI.
Dalam salah satu sesi diskusi secara daring antara artis Indonesia dengan diaspora di Amerika, artis Ayu Azhari misalnya juga mengimbau agar artis Indonesia menjalin kerjasama dengan para diaspora.
“Semua artis Indonesia kalau datang ke New York pasti diterima dengan baik oleh Pak Mustari Siara. Nanti diperkenalkan dengan orang-orang yang cukup penting di New York. Kegiatan kami di GSUI (Gerakan Seribu untuk
Indonesia) juga dihidupkan oleh Pak Mustari yang mengajak teman-teman diaspora. Beliau dulu juga tokoh di Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia),” kata Ayu Azhari.
Mustari juga gencar mempromosikan karya orang Indonesia yang lain. Saat Dr Arifi Saiman MA, mantan KJRI New York, menulis buku “Diplomasi Santri”, dia juga ikut mempromosikannya. Begitu pula bila ada diaspora atau WNI dari Indonesia hendak menembus pasar Amerika. “Itu pentingnya ada komunitas Indonesia di Amerika, sehingga bisa koordinasi dan saling mendukung,” ujarnya.
Guyub rukun orang Indonesia di Amerika juga diakui pihak lain. Buktinya, saat diaspora Indonesia menggelar acara, banyak warga dari negara lain atau warga asli Amerika ikut berkunjung. Misalnya, Senator John Liu senang dengan diaspora Indonesia. Bahkan dia juga memakai batik. Karena itu, bukan tidak mungkin, suatu saat, kelak ada anak muda asal Indonesia yang sukses menjadi senator di Amerika. Seperti John Liu yang juga sempat maju pemilihan walikota New York City. Bukankah mantan presiden AS, Barack Obama, juga pernah tinggal di Indonesia?
Ayahnya yang juga bernama Barack Husein Obama berasal dari Kenya, sedangkan ibunya adalah seorang wanita kulit putih bernama Ann Dunham. Mereka bertemu di Honolulu ketika Obama senior kuliah S2 di bidang ekonomi di Universitas Hawai. Ayah Barack Obama berpisah dengan ibunya ketika Obama junior baru berumur dua tahun. Ibunya kemudian menikah dengan seorang pria Indonesia bernama Lolo Soetoro. Bersama ibu dan ayah
tirinya itulah, Barack Obama tinggal di Jakarta antara tahun 1967 sampai tahun 1971.
“Iya, Insya Allah bisa (jadi senator dan lainnya). Sekarang sudah dirintis, selanjutnya para generasi penerus yang mewujudkan nantinya (jadi senator dan lainnya). Salam diaspora!” katanya. (*)