Salah seorang diaspora Indonesia di Jepang, Hj. Anggita Aninditya Prameswari Prabaningrum (Gita), tetap aktif berkontribusi membantu sesama –khususnya kaum perempuan–meski tinggal di negeri orang. Karena itu, Gita pun menenggelamkan diri dalam organisasi sosial kemanusiaan selama tinggal di negeri Sakura.
LAPORAN GATOT SUSANTO
HAJAH ANGGITA ANINDITYA melanglang buana ke negeri Sakura pada 1 November 2014 mengikuti sang suami yang bertugas di Gunma, Jepang. Saat itu, suaminya, Dr. H. Miftakhul Huda, M.Sc, bekerja sebagai PostDoc di Gunma University, Gunma. Sang suami memang menempuh pendidikan S1, S2, S3 dengan beasiswa dari Gunma University tersebut.
“Suami saya sejak tahun 2005 sudah di Jepang. Lalu tahun 2015 pindah kerja ke perusahaan NBC Tokyo.
Selanjutnya 2016-2021 menjadi researcher di Tokyo Institute of Technology, Japan (semacam ITB-nya Jepang, Red.).Maret 2021, kami pindah ke Nagoya. Karena suami pindah kerja menjadi Assistant Profesor di Nagoya University,” katanya kepada DutaIndonesia.com dan Global News Rabu 8 September 2021.
Saat ini Gita dan keluarganya tinggal di Nagoya, Aichi Prefecture, Jepang. Banyak WNI di kota ini. Begitu pula warga nahdliyin, banyak tinggal di Nagoya. “Kami sempat tinggal di Tokyo dan Yokohama juga. Terkait Covid-19, untuk wilayah Aichi sendiri masih emergency state. Karena setelah Tokyo Olympic, kasus Covid naik lagi. Setahu saya turis asing dari luar Jepang pun belum boleh masuk,” kata Gita, panggilan akrab Hajah Anggita.
Pengalaman merantau jauh ke negeri Jepang tentunya merupakan keputusan besar dalam hidup Gita. Apalagi saat itu baru dua minggu menikah. Dia langsung diboyong oleh suaminya meninggalkan ibukota DKI Jakarta untuk hidup di Jepang.
“Saya tentu sedih meninggalkan ibukota dengan segala kesibukannya yang selama 24 tahun telah menorehkan banyak cerita semenjak saya lahir hingga menikah. Suami saya asalnya dari kota santri Pekalongan,” katanya.
Awal membangun rumah tangga di negeri orang tentu banyak tantangan. Selain harus beradaptasi dengan status baru sebagai seorang istri, Gita juga dituntut untuk cepat beradaptasi dengan aturan dan budaya di Jepang. “Terutama belajar nihongo (bahasa Jepang),” katanya.
Selain itu, semua harus mandiri. Harus mengikuti gaya hidup disiplin tinggi khas Jepang. Tidak ada keluarga dan sanak saudara yang membantu. Tetapi dari situ, Gita dan suami menjadi sadar, ternyata mereka bisa hidup di tanah rantau. Mereka mampu karena kuasa Allah SWT.
Selanjutnya, banyak sekali nikmat dan kesempatan yang dia peroleh saat tinggal di Jepang. Nikmat yang belum tentu orang lain memperolehnya. Maka dari itu, Gita memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik mungkin. Salah satunya adalah dengan berdakwah di negeri minoritas muslim tersebut.