Kisah Perjalanan Diplomat Muda Indonesia (Bagian 3): Menjadi LS KBRI Yangon

oleh
Arya Daru Pangayunan, Sekretaris Ketiga Fungsi Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Buenos Aires.

Inilah kisah diplomat muda Arya Daru Pangayunan yang sangat inspiratif. Dia adalah Sekretaris Ketiga Fungsi Politik di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Dili (2018-2020); dan Sekretaris Ketiga Fungsi Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Buenos Aires sejak 2020 sampai sekarang.

KBRI Yangon

Pertemuan dengan Bapak Totok Prianamto

“HALO, dengan Pak Daru? Saya Totok dari KBRI Yangon. Saya membutuhkan Local Staff (LS) Fungsi Politik di KBRI Yangon dan saya sudah mendapatkan berkas lamaran dan hasil seleksi Pak Daru dari Biro Kepegawaian. Jika berminat bisa temui saya di Warung Lele Lela Kali Malang sore ini jam 7”.

Itu adalah telepon dari Bapak Totok Prianamto, Minister Counsellor – Kepala Fungsi Politik, sekaligus Kepala Kanselerai KBRI Yangon. Saya sempat speechless selama beberapa detik dan sedikit tergagap ketika menjawab telepon itu. Banyak hal yang berputar di kepala saya. Kenapa Yangon? Kenapa bukan Perwakilan RI di Amerika atau Eropa yang lebih menarik? Jika tidak saya ambil, apakah akan ada kesempatan kedua? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala saya.

Namun setelah beberapa detik, saya pun menjawab, “Siap Pak!”

Sampai di Warung Lele Lela Kali Malang sore itu, selain Pak Totok ternyata ada 2 orang calon LS lain.

“Ah, Pak Daru, saya Totok, kenalkan juga ini ada Pak Wedhar dan Pak Galih yang akan menjadi rekan kerja Pak Daru di Yangon.”

Wedhar rencananya ditempatkan di Fungsi Ekonomi dan Galih di Fungsi Pensosbud. Mereka berdua sepertinya sudah diterangkan lebih rinci oleh Pak Totok mengenai tawaran sebagai LS di KBRI Yangon dan dari wajah mereka sepertinya mereka sudah sangat mantap.

Iming-iming dari Pak Totok pun menggiurkan. “Di sana tidak perlu memikirkan tempat tinggal karena ada flat untuk para LS, dan di mana lagi bisa dapat gaji di atas US$ 1.200 per bulan? Jika benar berminat, saya akan sampaikan ke Biro Kepegawaian untuk segera diproses.”

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, bersama dengan Wedhar dan Galih, kami menyatakan setuju. Di hari berikutnya, saya langsung membuat surat pengunduran diri dari WSI. Saya sangat bersyukur bisa mendapatkan “first real job” saya di WSI yang mampu memberikan pembelajaran, memberikan koneksi, dan menjadi batu loncatan ke sesuatu yang lebih besar bagi saya.

Ketika mengabari Pita bahwa saya mengambil pekerjaan sebagai LS di Myanmar, sempat muncul kegalauan. Kebetulan Pita sedang hamil muda, dan dari informasi yang diberikan Pak Totok, fasilitas kesehatan di Myanmar tidak sebaik di Indonesia. Karenanya, kami memutuskan untuk hidup terpisah.

Keberangkatan ke Yangon

Dua bulan kemudian, berkas keberangkatan dari Biro Kepegawaian Kemlu telah siap, termasuk paspor dinas. Visa harus diurus sendiri ke Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, namun bebas biaya dan mendapatkan prioritas karena menggunakan paspor dinas. Untuk berangkat ke tempat penugasan, LS harus menggunakan biaya sendiri untuk membeli tiket pesawat. Masih beruntung saya “hanya” ditugaskan ke Myanmar. Bandingkan dengan Merry yang ditugaskan ke Kanada yang harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar karena mahalnya tiket pesawat ke Ottawa. Lebih beruntung lagi ketika itu saya mendapatkan tiket promo Malaysia Airlines hanya seharga US$ 90. Padahal harga tiket normal sekitar US$ 280 untuk sekali jalan dari Jakarta ke Yangon via Kuala Lumpur (KL).

Saya berangkat ke Yangon pada tanggal 6 Juni 2011, meninggalkan istri saya yang tengah hamil di Jogja bersama mertua saya. Ini merupakan keputusan yang cukup berat, namun harus dijalankan.

Pesawat saya ke KL berangkat jam 5 pagi sehingga pada jam 3 pagi saya sudah harus tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan cukup lancar. Setelah transit beberapa jam di KL saya terbang lagi menuju Yangon dan tiba di Yangon pukul 3 sore waktu setempat (perbedaan waktu dengan Jakarta hanya setengah jam lebih lambat).

Yangon: Seperti Indonesia Masa Lampau

Saya dijemput oleh driver KBRI orang Myanmar, namanya Paw Kyi (dibaca Poci), dengan Mas Johan, LS di Fungsi Protokol Konsuler yang sudah lama bekerja di KBRI Yangon.

Karena saya suka fotografi, saya sudah menyiapkan kamera Nikon D90 saya untuk mengambil gambar selama perjalanan saya dari bandara menuju KBRI. Namun pada kenyataannya tidak ada gambar yang saya ambil karena suasana kota Yangon tidak jauh berbeda dengan kota-kota kecil di pedalaman Jawa. Jika saya tunjukkan foto-foto saya ke orang-orang, tidak akan ada yang percaya bahwa saya sedang berada di luar negeri. Bahkan kita kesannya sedang berada di Indonesia masa lampau karena yang beredar adalah mobil-mobil tua rata-rata tahun 80-an sampai 90-an dan banyak bangunan tua dari jaman kolonial. Namun yang khas tentunya adalah banyaknya pagoda yang tersebar dan salah satu yang terbesar terletak di dekat KBRI – Pagoda Shwedagon.

Mengenal Lingkungan Baru

Setelah bertemu dan menghadap Pak Totok yang menjadi atasan saya langsung, saya dipersilakan untuk istirahat di Guest House KBRI. Beruntungnya para LS di KBRI Yangon karena para LS mendapat jatah flat sehingga tidak harus bayar sewa rumah atau apartemen. Namun sebelum flat siap untuk dihuni, saya disediakan kamar di Guest House KBRI. Fasilitas di Guest House KBRI cukup baik. Ada AC dan air panas, hingga dapur. Untuk makan dan cuci pakaian, dapat meminta tolong dan membayar ke Ibu Mimi, orang Myanmar yang bertugas menjaga Guest House KBRI.

KBRI Yangon memiliki tiga premis, pertama adalah kantor KBRI Yangon yang berada satu kompleks dengan Wisma Duta; kedua adalah compound perumahan para Home Staff (HS); dan ketiga adalah kompleks yang terdiri dari Indonesia International School Yangon (IISY), Guest House KBRI, flat tempat tinggal LS dan guru WNI IISY, Masjid Indonesia, dan Rumah Dinas Atase Pertahanan RI.

No More Posts Available.

No more pages to load.