Laporan Ramadhan dari Prancis: Menghapus Rindu Kampung Halaman dengan Bukber

oleh
Saya (Dini Kusmana Massabuau), bersama suami David, Ustadz Dr Moh. Abdul Kholiq Hasan, Lc, M.A, M. Ed, Konjen RI Marseille Arief Basalamah dan istri, usai acara bukber di kediaman saya beberapa hari lalu.
[ngg src=”galleries” ids=”55″ display=”basic_slideshow”]

Suasana Ramadhan di Kota Montpellier, Prancis, kota tempat saya dan keluarga sekarang tinggal, sama seperti hari-hari biasa. Tidak ada ghirah Ramadhan layaknya di Indonesia. Tidak ada yang namanya pedagang ramai-ramai jualan takjil. Namun beruntung kami masih bisa mengadakan buka puasa bersama (bukber) dengan para diaspora Indonesia di Prancis.

Oleh Dini Kusmana Massabuau

PRANCIS memang negara yang memisahkan antara agama dengan pemerintahan. Banyak orang menyebut negara sekuler, namun bagi saya sendiri lebih dari itu. Sudah ada sedikit perkembangan dalam masalah keagamaan mengingat mulai ada sentuhan agama di kota kami.

Ya, mungkin baru beberapa tahun ini saja mulai ada, misalnya, supermarket-supermarket menjual pernak pernik dengan tema Ramadhan. Seperti gelas dengan tulisan Ramadan Kareem. Tapi tidak semuanya. Itu pun hanya di daerah yang penuh dengan penduduk dari Maghrébin (Maroko) yang suasana Ramadhannya agak terasa. Terasa karena lebih banyak orang menjual manisan-manisan, kue-kue khas negara mereka, lebih dari hari biasanya. Selebihnya suasana Ramadhan tidak terasa sama sekali.

Sedang di keluarga kami, dalam arti suami dan anak-anak, sudah terbiasa menjalankan ibadah puasa dan salat Tarawih selama Ramadhan. Anak-anak sudah kami perkenalkan dengan puasa sejak kecil. Walaupun puasa mereka juga tergantung pada usia. Karena teman-teman mereka kebanyakan nonmuslim sehingga menjalankan ibadah puasa bagi anak-anak pun sudah terbiasa dengan melakukannya secara mandiri.

Sementara suami saya tidak memiliki kolega muslim. Tetangga kami semuanya nonmuslim juga. Jadi, kami berpuasa Ramadhan di tengah semua orang non-muslim.

Saya (Dini Kusmana Massabuau), bersama suami David, Ustadz Dr Moh. Abdul Kholiq Hasan, Lc, M.A, M. Ed, dan dua putra kami.

Namun kami bisa merasakan suasana Ramadhan saat mengadakan acara berbuka puasa bersama (bukber) sesama muslim, khususnya para diaspora asal Indonesia di Prancis. Dan alhamdulillah edisi ke-8 bukber bisa kembali terlaksana dengan baik di kediaman saya.

Lalu bagaimana awal mulanya kami mengadakan bukber? Idenya berawal karena selama merantau di Kota Montpellier, tidak pernah ada acara bukber. Padahal acara ini paling kami kangenin. Sangat kami tunggu.

Alhamdulillah sejak kami diberi rezeki hingga mampu membeli tempat tinggal cukup besar, kami jadi bisa mengadakan acara bukber tersebut. Ini sangat penting kami lakukan untuk memberikan gambaran dan suasana Ramadhan bagi anak-anak kami juga. Soal pentingnya saling berbagi saat berbuka puasa. Dan alasan lain untuk para pelajar Indonesia di Kota Montpellier ini.

Bersama para diaspora Indonesia di Prancis saat bukber di kediaman saya.

Saya bisa membayangkan tentunya tidak mudah bagi mereka, para pelajar Indonesia di kota ini, menjalankan ibadah Ramadhan sendiri. Tanpa keluarga, tentunya mereka rindu dengan kehangatan Ramadhan di kampung halaman. Namun, dengan bukber semua kerinduan itu bisa sedikit terhapuskan. Alasan-alasan inilah yang membuat kami akhirnya setiap tahun mengadakan bukber yang dihadiri para diaspora di kota kami. Ada sekitar 40 diaspora yang datang. Hadir pula ustadz Dr Moh. Abdul Kholiq Hasan, Lc, M.A, M. Ed, dan Konjen RI Marseille Arief Basalamah serta istri.

Kembali ke Jurnalis

Saya sendiri pindah ke Prancis pada Maret tahun 2000. Jadi sudah 23 tahun saya merantau ke negara ini. Saya merantau ke Prancis karena menikah dengan orang Prancis. Ketika suami selesai masa tugasnya di Indonesia, saya mengikutinya untuk kembali ke negaranya.

Saat itu anak kami baru berusia 2,5 bulan. Dan saya pun melepaskan pekerjaan saya sebagai jurnalis di ANteve. Pekerjaan sebagai jurnalis mulai saya tekuni kembali tahun 2008. Awalnya saya bekerja untuk Kompas.com. Selain sebagai Kontri mereka, saya juga memiliki rubrik sendiri di Kompas.com, namanya Surat dari Prancis.

Di sinilah saya memulai kembali karier saya sebagai reporter. Alhamdulillah, pekerjaan ini membuat saya menjadi banyak menghadiri peristiwa-peristiwa penting di Prancis dan berkesempatan pula meliput berbagai évent internasional di negera ini. Seperti Festival Film Cannes, Roland Garros, dan acara-acara kenegaraan. Hingga liputan-liputan ringan lainnya.

Saya juga kadang diminta liputan untuk majalah Tempo, Republika dan media lain. Hingga akhirnya ketika NetTV berdiri saya menjadi Kontri mereka.

Berbeda dengan di Indonesia, di mana reporter bekerja bersama kamerawan dan setelah itu ada editor dan lainnya di studio, sebagai reporter di Prancis semua saya melakukannya sendiri. Mulai dari pengambilan gambar, édit gambar hingga pembuatan naskah, semuanya dilakukan sendiri.

Dan meliput event di Prancis itu ribetnya luar biasa. Sebab semuanya harus menggunakan izin (akreditasi). Tanpa itu sulit untuk bisa meliput berbagai event khususnya tingkat internasional.

Jadi saya terbiasa di sini solo karier, meliput harus bisa apa saja, mulai dari olah raga, politik, seni sampai aksi demo-demo dan serangan-serangan teroris yang sempat bikin heboh dunia.

Sebagai reporter, pada tahun 2019 saya mulai berpikir untuk membuat media sendiri. Alasannya karena banyak sekali berita-berita yang sebenarnya layak diangkat namun kerap tidak bisa dimuat di media.

Alasan kedua karena sebagai jurnalis, kewajiban saya untuk meliput membuat saya banyak bepergian. Sementara usaha suami semakin sering mengharuskan dirinya ke luar kota dan saya kerap diminta untuk mendampinginya.

Alasan ketiga rasanya sudah waktunya saya bisa merangkul beberapa diaspora Indonesia untuk belajar menulis berbagi pengalaman, cerita, dan informasi kepada sesama diaspora Indonesia di berbagai negara. Maka sejak tahun 2019, Surat Dunia resmi meluncur sebagai media diaspora dan perantauan Indonesia di negeri orang. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.