MOJOKERTO| DutaIndonesia.com – Seorang ulama yang baik itu pasti memiliki kasih sayang terhadap umat. Dengan kasih sayang tersebut, ia akan selalu mengingatkan umatnya pada Allah SWT.
Hal ini dikatakan oleh Prof DR KH Asep Saifuddin Chalim MA (Kiai Asep), Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah pada para santriwan santriwatinya yang duduk di Madrasah Aliyah Unggulan, Pacet, Mojokerto, Kamis (12/10/2023) pagi.
Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya umatku adalah ulama, sebaik-baik ulama adalah yang memiliki belas kasihan terhadap umat, ketahuilah bahwa Allah mengampuni 40 dosa orang alim lebih dahulu sebelum Allah mengampuni satu dosa orang bodoh. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang alim yang penuh kasih sayang datang pada hari kiamat dan cahayanya menerangi jalan-jalan yang dilaluinya, dia berjalan diantara arah timur dan barat seperti bintang-bintang yang bersinar.”
“Salah satu sebabnya, para ulama lebih peka bila merasa bersalah, dan segera memohon ampunan Allah, sesuai syariat dan adab yang tinggi. Sementara orang bodoh, tak tahu caranya memohon ampun pada Allah,” jelas Kiai Asep.
“Bila kalian belum bisa jadi ulama, maka setidaknya jadilah seperti ulama. Jadi orang alim yang baik,” kata Kiai Asep.
Ada pun ciri orang alim yang baik adalah, Pertama, selalu mengingatkan orang pada anjuran dan larangan Allah. Sehingga, bila orang melihatnya saja, maka orang tersebut akan otomatis teringat akan Allah SWT. Kedua, setiap pembicaraannya adalah ilmu, bijaksana dan kalau pun bercanda, masih dalam koridor kebenaran. Ketiga, selalu mengingatkan kita pada akhirat.
Dalam era modern ini, seorang alim – ulama di masyarakat adalah seorang dokter agama. Berbagai masalah, mulai rumah tangga, kesehatan, gangguan jin, masalah masyarakat, banyak yang bermuara ke ulama.
Namun ulama pun tak luput dari ujian dan cobaan. Terutama ujian duniawi, wabil khusus adalah uang (dinar). Ketika sang ulama sudah terkena ‘penyakit’ dunia ini, maka rusaklah dia. Bersamaan itu, rusak pula sebagian sendi kemasyarakatan.
Dan ketika orang alim-ulama sakit dan rusak (moralnya), maka siapakah yang bisa mengobati orang lain ? Maka bila jumlahnya semakin banyak, itu sebagian dari tanda-tanda hari akhir (kiamat).
Kewajiban Amar Ma‘ruf
Menyuruh pada kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah dari kemunkaran (nahi munkar) bukan hanya kewajiban orang alim-ulama saja, namun merupakan kewajiban kita bersama.
Kewajiban ini tidak harus menunggu apakah kita sudah melaksanakan perbuatan ma’ruf tersebut, atau kita telah meninggalkan perbuatan munkar tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadis berikut:
Abu Hurairah RA meriwayatkan Hadis dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “Memerintahlah kalian kepada kebajikan, meskipun kalian belum melaksanakannya. Dan laranglah kalian dari perbuatan munkar, meskipun kalian belum meninggalkannya.”
Namun, dalam melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar tersebut memiliki batasan-batasan tersendiri, sesuai dengan kadar keimanan dan kemampuan yang dimiliki.
1. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan kekuasaan, yaitu untuk pemerintah/aparat yang berwajib (penegak hukum).
2. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan lisan, yaitu untuk para ulama (ilmuwan).
3. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan hati, yaitu untuk orang awam.
Nabî SAW bersabda: “Jika seseorang di antara kalian ada yang melihat kemunkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya (kekuasaannya). Namun, jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya. Namun, jika tidak mampu, maka dengan hatinya (do’a). Dan yang demikian itu adalah iman yang paling lemah”.
Maksud dari hal tersebut adalah, perbuatan yang paling lemah dari orang-orang yang memiliki keimanan.
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan merubah dengan tangan adalah untuk pemerintah/aparat yang berwajib (penegak hukum), merubah dengan lisan adalah bagi ulama (ilmuan), dan merubah dengan hati adalah bagi orang awam.
Dan sebagian ulama lainnya juga menyatakan bahwa tiap orang yang memiliki kemampuan untuk merubah kemunkaran tersebut, maka hal itu adalah wajib baginya untuk merubahnya. (Moch. Nuruddin)