Mitos Nyi Ronggeng

Budi menambahkan, peranan kereta api pada era penjajahan sangat krusial bagi pabrik Cipetir sejak pabrik berdiri. “Di pabrik kami ada gilingan atau alat penggilas yang didatangkan dari Italia, yang satu setnya terdiri dari dua batu besar. Satu batu besar beratnya empat ton. Waktu itu alat transportasi belum secanggih sekarang.
Pada zaman pemerintahan Belanda, batu penggilingan diangkut dari pelabuhan ke Stasiun Cibadak menggunakan kereta. Dari Stasiun Cibadak, batu diangkut oleh pedati ke pabrik Cipetir yang berjarak 12 kilometer,” papar Budi.
Dalam perjalanan pengangkutan batu-batu impor itu dari Stasiun Cibadak ke pabrik Cipetir, menurut Budi, ada cerita yang diturunkan oleh penduduk sekitar.
“Kuda itu tidak mau berjalan. Berdasarkan cerita orang-orang setempat, ada saran untuk disuguhi tarian Nyi Ronggeng supaya kuda mau berjalan,” kata Budi.
Setelah pabrik berdiri dan memproduksi balok-balok gutta percha, kereta api kembali berjasa.
“Kereta api untuk mengangkut hasil dari pabrik kita ke Stasiun Cibadak dulu. Dari Stasiun Cibadak ke Tanjung Priok di Batavia diangkut pakai kereta kargo,” paparnya.
Sekarang kapasitas produksi pabrik Cipetir jauh berkurang karena penggunaan gutta percha untuk bahan industri sudah banyak digantikan oleh material yang lebih modern.
Bahkan sekarang tanaman gutta percha hampir tak terlihat. Hanya ada sekumpulan kecil tanaman gutta percha di dalam kompleks pabrik. Tanaman sawit justru yang mendominasi pemandangan di sekitar pabrik.
Bagaimanapun, bangunan pabrik berusia lebih dari satu abad ini masih berdiri dan menjadi saksi bisu sejarah perkebunan Priangan di era kolonial Belanda. Keberadaan perkebunan di kawasan Priangan tak bisa dilepaskan dari era budidaya tanaman kopi berdasarkan kerja paksa pada awal abad ke-19, dalam sistem Priangan atau disebut Preangerstelsel.
Sistem inilah yang kemudian mengilhami Cultuurstelsel atau tanam paksa di berbagai wilayah di Hindia Belanda.
Namun, pada era tersebut, pengangkutan kopi dari dataran tinggi ke pantai menjadi masalah besar, sebagaimana diterangkan sosiolog Belanda, Jan Breman, dalam buku berjudul Keuntungan kolonial dari kerja paksa: sistem Priangan dari tanam paksa kopi di Jawa, 1720-1870.
“Daendels menyatakan ketika ia datang tahun 1808 hampir tidak ada jalan yang dapat dilewati…Penyetoran biji kopi ke gudang pengapalan biasanya menggunakan kerbau, padahal jumlah binatang ini sangat sedikit…Karena sulitnya medan perjalanan…menyebabkan perjalanan pulang-pergi Bandung membutuhkan waktu lebih dari dua bulan,” papar Jan Breman dalam buku terbitan 2010 itu.

Agus Mulyana dalam buku Sejarah Kereta Api di Priangan terbitan 2017 menulis: “Lambannya pengangkutan dapat mengakibatkan banyak hasil bumi menumpuk di gudang-gudang di daerah pedalaman dan membusuk karena tidak terangkut.”
Dari era tanam paksa, pemerintah kolonial Hindia Belanda meraup keuntungan ratusan juta gulden.
Jan Breman mencatat, ketika konsumsi kopi dunia pada 1822 meningkat hingga 225.000 ton, Hindia Belanda memasok 100.000 ton dari total jumlah ini. Dari jumlah itu, “sebagian besarnya berasal dari dataran tinggi Sunda,” tulis Jan Breman.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tampak menikmati benar hasil perkebunan ini. Jan Breman mengutip penulis sejarah tanam paksa, C Fasseur, “yang menghitung bagaimana penghasilan uang di Hindia Belanda yang pada 20 tahun pertama tidak lebih dari seperlima pendapatan negara Belanda, meningkat sampai hampir sepertiga bagian pendapatan negara pada tahun 1850-an”.
Sejarawan Peter Carey mengatakan: “Dari tanam paksa, Kerajaan Belanda bisa meraup untung hingga 832 juta gulden (setara dengan US$75,5 miliar hari ini).”
Perekonomian Belanda sebelumnya memang sempat goyah akibat Perang Jawa (1825-1830). Menurut sejarawan Peter Carey, kurang lebih 25 juta gulden (setara dengan kira-kira US$2,5 miliar untuk hari ini) telah dikeluarkan dari kas negara untuk memadamkan pemberontakan yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro.
Akan tetapi, sistem tanam paksa tersebut dihujani kritik oleh berbagai kalangan, termasuk Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar. Ada pula kritik dari kelompok liberal yang menuding Cultuurstelsel telah membunuh bisnis perkebunan swasta di Hindia Belanda. (gas/bbc)
Foto-foto: Vidi Jensen