Presiden Minta Penderita TBC Dikarantina, Prof Dr Gatot: Jangan Kendor Awasi Penderita!

oleh
Prof Dr Gatot Soegiarto (kanan) bersama legenda bedah saraf Indonesia, Prof. Padmo Santjojo, Sp.BS yang pertama kali melakukan operasi pemisahan bayi kembar siam, Yuliana dan Yuliani.

SURABAYA| DutaIndonesia.com) – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pengarahan kepada Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin agar menyiapkan tempat karantina khusus bagi pengidap tuberkulosis (TBC). Tujuannya untuk mencegah penularan penyakit tersebut. Hingga saat ini Indonesia menempati peringkat kedua setelah India sebagai negara terbanyak pengidap TBC. Sedang angka pengidap TBC di Jawa Timur (Jatim) disebut termasuk tinggi secara nasional.

“Bapak Presiden memberi arahan selama dua bulan ini coba disiapkan karantina khusus, tapi kalau bisa dekat dengan masing-masing lokasi di mana terjadi tuberkulosis. Jadi selama dua bulan dia tidak menularkan keluarganya, dimasukkan ke karantina khusus,” kata Menkes dikutip dari AntaraNews, Kamis (20/7/2023).

Selain agar tidak menular ke keluarganya sendiri, karantina juga diharapkan bisa menjadikan pasien TBC disiplin meminum obat. Presiden juga meminta Menkes untuk bekerja sama dengan Kementerian PUPR dalam menyiapkan tempat karantina tersebut.

Saat dimintai tanggapan soal ini, ahli penyakit dalam yang juga pakar imunologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof. Dr. dr. Gatot Soegiarto Sp.PD, K-AI, FINASM, enggan berkomentar terkait permintaan Presiden ke Menkes untuk menanggulangi TBC tersebut. Pasalnya dia tidak bisa membayangkan bagaimana pengidap TBC di Indonesia yang memang terbesar kedua di dunia setelah India itu nanti dikarantina. Sebab jumlahnya sangat banyak.

“Tidak bisa membayangkan bagaimana orang sebanyak itu akan dikarantina, dan bagaimana karantina itu akan dilakukan,” katanya kepada DutaIndonesia.com dan Global News, Rabu (19/7/2023).

Namun demikian Prof. Gatot memberi saran bila vaksinasi BCG pada anak-anak dilaksanakan dengan cakupan yang tinggi seperti anjuran WHO sekitar 85-90%, maka sejak anak-anak hingga mereka dewasa kelak akan ada kekebalan terhadap paparan kuman TB yang ditularkan oleh para penderita TBC. Sementara untuk penderita TBC sendiri, kata dia, sebenarnya sudah diedukasi tentang cara batuk yang benar dan dianjurkan tidak membuang dahak (atau ludah) secara sembarangan, tetapi seharusnya dibuang ke wadah penampung yang diberi larutan Lysol atau Chlorine. Tujuannya agar kuman TBC-nya mati dan tidak tersebar melalui aerosol atau airborne droplet.

“Penderita TBC juga sudah dianjurkan untuk mengkonsumsi obat secara rutin dan tidak boleh putus sampai minimal 6 bulan hingga 9 bulan. Obat TBC yang tidak diminum secara rutin, tidak teratur, atau bahkan berhenti diminum, akan menimbulkan kuman TBC yang resisten obat (multidrug resistant TB / MDR TB) yang lebih menular dan tidak bisa diobati dengan regimen obat TBC biasa,” katanya.

Oleh karena itu, kata Prof. Gatot, harus ada pengawas minum obat (PMO) yang memastikan bahwa obat TBC diminum secara benar hingga dinyatakan sembuh atau tuntas oleh dokter. PMO itu biasanya adalah anggota keluarga pasien yang dipercaya dan ditugasi sebagai pengawas.

“Rasanya hal-hal itu semua sudah banyak kendor dan tidak dipatuhi secara ketat. Banyaknya penderita HIV (yang tahu atau tidak menyadari bahwa dirinya sakit, Red.) juga dapat menurunkan daya tahan tubuh dan membuatnya gampang sekali (rentan) terinfeksi kuman TBC, serta memunculkan kuman-kuman MDR TB itu tadi juga,” katanya.

Terkait hal itu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga meminta agar Presiden Jokowi menjadi pemengaruh atau “influencer” agar penderita tuberkulosis (TBC) dapat disiplin meminum obat antituberkulosis hingga masa pengobatan selesai. Usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Jokowi tentang TBC, Menkes Budi Gunadi Sadikin menilai peran Jokowi dapat mendorong penderita TB mau meminum obat setidaknya minimal enam bulan untuk mencegah resistensi antituberkulosis.

“TBC itu (penderitanya) minum obat susah, kalau bisa bapak, ya Beliau tidak kena TBC tapi bisa memberikan ‘endorsement’ bahwa ayo yang sakit TBC jangan sampai lupa minum obat TBC dan minumnya sampai selesai karena butuh minimal enam bulan,” kata Menkes saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (18/7/2023).

Menkes lalu memberi contoh vaksinasi COVID-19 tidak akan sukses tanpa adanya pengaruh Jokowi sebagai pionir yang mendapatkan suntik vaksin terlebih dahulu. Ketika Presiden memakai jaket atau sepatu tertentu, pasti diikuti oleh warga. Begitu juga saat Jokowi mendapatkan suntik vaksinasi COVID-19, semua warga juga terdorong untuk mendapatkan layanan vaksin.

“Kami bilang, ‘Pak dulu vaksinasi tidak akan bisa sukses lho, Itu selesai gara-gara Bapak jadi influencer, jadi endorsement’, disuntik dulu,” kata Menkes menirukan dirinya saat berbicara dengan Presiden.

Mendengar permintaan tersebut, Presiden Jokowi, kata Menkes, sempat tertawa dan menyanggupi permintaan itu. Menkes mengatakan bahwa Presiden Jokowi bahkan bersedia mendatangi sejumlah daerah untuk memastikan masyarakat penderita TBC mau meminum obatnya.

Adapun berdasarkan situs resmi Kementerian Kesehatan, Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang berpotensi serius dan umumnya menyerang paru-paru. Seorang pasien TB, khususnya TB paru pada saat berbicara, batuk, maupun bersin dapat mengeluarkan percikan dahak yang mengandung infeksi bakteri.

Orang-orang di sekeliling pasien TB tersebut dapat terpapar dengan cara menghisap percikan dahak (droplet). Pengobatan penyakit tuberkulosis biasanya membutuhkan waktu enam bulan dengan aturan minum obat yang ketat, guna mencegah risiko terjadinya resistensi obat antituberkulosis (OAT). (gas/an)

No More Posts Available.

No more pages to load.